Belajar Dari Linggis Dan Balon

By sal in Cerita

January 1, 0001

Apa yang akan saya ceritakan di bawah ini adalah kisah nyata.

Suatu pagi saat saya SMP, saya dan teman sekelas pindah ruang dari ruang kelas ke ruang seni tari. Hal ini terjadi karena ruang kelas kami direnovasi. Jadilah kami pindah ke ruang kecil yang berada di paling pojok di sekolahan.

Beberapa hari berlalu, kami mulai beradaptasi. Kami mulai bercanda gurau di depan kelas saat pergantian jam pelajaran. Di sebelah ruang kelas kami yang baru terdapat Lab Komputer.

Lab Komputer adalah ruang keramat pada waktu itu. Ruangnya mewah, ber-AC dan banyak komputernya. Waktu itu memang komputer masih sangat mewah bagi kami yang bersekolah di pinggiran. Peraturan di ruang komputer sangat ketat. Salah satu peraturan yang dijaga ketat adalah aturan untuk menjaga ketenangan.

Dari sinilah kisah ini dimulai.

Membuat keributan sudah menjadi kodrat kami. Apalagi ketika kami nganggur dan di luar pengawasan. Seperti saat jam kosong atau pas ganti jam pelajaran.

Sampai saat sebuah momen tercipta. Teman saya, Linggis, kepleset di ujung anak tangga. Gares kanannya kena lingir. Benjol. Seperti ban sepeda yang metoto.

“Wuadoooooooohhh..!! “, Linggis teriak kencang.

Oke, mungkin tidak sekeras itu.

Tapi namanya momentum memang tidak bisa kita prediksi. Ndilalah, pas Linggis teriak kesakitan itu, suasana pas sedang hening.

Kadang-kadang ada kan silent moment selama sekian detik tercipta meskipun kita sedang ribut seribu-ributnya? Nah, kira-kira jeritan Linggis ngepas pas moment of silent itu.

Mungkin memang takdir, jeritan itu terdengar oleh Pak Balon, yang kebetulan sedang keluar dari Lab Komputer.

Kami tertawa terbahak sambil ngece dan nggoblok-nggoblokke Linggis.

Pak Balon mendatangi kami. Melihat ekspresi Pak Balon yang siap muntab, kami langsung terdiam. Kamitenggengen. Tidak sempat berlari masuk ke kelas.

“Sapa mau sik mbengok p\juh?”, tanya Pak Balon dengan muka garang. Dalam diam kami, kami segera memproses pertanyaan Pak Balon. Sudah dapat disimpulkan bahwa beliau salah dengar teriakan Linggis.

“Aku ngerti kowe sik mbengok mau”.

Linggis tertegun. Mungkin tadi memang Pak Balon sempat melihat moment terplesetnya Linggis. Kami tidak bisa memastikan.

Ayunan kaki Pak Balon melayang. Kaki kiri Linggis menerima ujung sepatu Pak Balon. Sama dengan gares kanannya, gares kirinya kini jadi ikutan memar. Hanya lebih benjol. Lebih metoto. Tentunya lebih sakit.

Ternyata tidak berhenti sampai di situ, Pak Balon melanjutkan kemarahannya dengan mengeluarkan kata-kata keras. Meskipun tidak ada kata kasar keluar, kami tertegun sebab Pak Balon dikenal sebagai guru yang humoris dan disukai banyak siswanya.

Ketika Pak Balon pergi meninggalkan kami, kami masih mencoba mencerna apa yang terjadi. Kami juga baru sadar bahwa tragedi Linggis tadi tidak hanya dilihat oleh kami teman sekelasnya, melainkan juga dikonsumsi oleh siswa-siswa yang keluar dari Lab Komputer, beberapa siswa kelas tetangga, serta segerombolan siswa yang hendak buang air.

Keesokan harinya, kisah tragedi Linggis menyebar ke semua penjuru sekolah kami. Kami sepakat bahwa kasus ini tidak bisa dibiarkan selesai seperti ini. Martabat Linggis tidak bisa dibiarkan tercemar oleh hal yang tidak dilakukannya.

Kami melapor ke guru BK tentang kesalahpahaman yang terjadi. Pak Balon dan Linggis dipanggil ke kantor BK, beberapa anak dipanggil sebagai saksi.

Endingnya, Pak Balon meminta maaf kepada Linggis. Linggis memaafkan Pak Balon. Kami tersenyum puas.

Linggis tetap menjadi pribadi yang tidak nakal-nakal amat. Pak Balon tetap humoris dan tetap menjadi guru favorit kami.

Benjol di kaki Linggis lambat laun semakin sembuh.

Kasus selesai. Tidak ada polisi ataupun pengadilan yang kami libatkan untuk menyelesaikan kasus ini.

Posted on:
January 1, 0001
Length:
3 minute read, 543 words
Categories:
Cerita
See Also: